Setelah terakhir juara pada tahun 1937, prestasi PERSIB di tingkat nasional terus menurun. Tahun 1940, PERSIB tidak berhasil lolos ke babak 3 besar, lagi-lagi Persis Solo yang menjadi kampiun di tahun tersebut.
Di tahun 1941 berhasil lolos ke babak 3 besar. Babak ini diadakan di kota Bandung. Namun di babak ini PERSIB harus mengakui keunggulan Persis Solo dan Persibaja Surabaya.
Di tahun 1941 berhasil lolos ke babak 3 besar. Babak ini diadakan di kota Bandung. Namun di babak ini PERSIB harus mengakui keunggulan Persis Solo dan Persibaja Surabaya.
Tahun 1942, dominasi Persis Solo terus berlanjut, ini kali ke-4 secara berturut-turut mereka menjuarai Kompetisi. Kiprah PERSIB sendiri datanya tidak diketahui pada kompetisi tahun ini. Apakah PERSIB bermain di kompetisi atau vakum? Entahlah, namun yang pasti kondisi negeri ini sedang genting setelah Jepang masuk ke Indonesia. Kegiatan persepakbolaan yang dinaungi organisasi lama dihentikan dan organisasinya dibredel. Hal ini tak hanya terjadi di Bandung saja, melainkan juga terjadi di seluruh tanah air termasuk PSSI. Pemerintah kolonial Jepang pun mendirikan perkumpulan baru yang menaungi kegiatan olah raga ketika itu, yakni Rengo Tai Iku Tai.
Tapi sebagai organisasi yang bernafaskan perjuangan, PERSIB tidak takluk begitu saja pada keinginan Jepang. Memang nama PERSIB secara resmi diganti dengan nama yang berbahasa Jepang tadi, tapi semangat juang, tujuan dan misi PERSIB sebagai sarana perjuangan tidak berubah sedikitpun.
Kegiatan sepakbola di kota Bandung pun masih hidup, meski dengan campur tangan Jepang, PERSIB dibawah kepemimpinan Anwar ST Pamoentjak masih bisa menggelar kompetisi intern. Di tahun 1942, PERSIB mulai mengadakan pendaftaran ulang bagi klub-klub anggotanya untuk rencana menggelar kompetisi intern di bulan Januari tahun depan. Tiap-tiap pemain yang didaftarkan oleh setiap klub masing-masing diwajibkan membayar f 0.10 setiap bulannya . Sekretariat PERSIB saat itu berada di Jalan Kebonsirih no. 1, dengan nomor telepon 1986.
Dengan adanya pendaftaran ulang klub anggota, maka klub yang tidak menjadi anggota PERSIB, tidak diperkenankan memakai lapangan Tegal Lega, Kebon Kelapa, Mosvia, dan sebuah lapangan di belakang gedung Mijnbouw. Berkat peraturan baru itu, akhirnya banyak klub yang mendaftar menjadi anggota PERSIB, tercatat sekitar 30 klub (sejauh penelusuran kami dari artikel Koran Tjahaya) ikut bergabung dan masing-masing klub tersebut terdaftar dalam 3 tingkatan kelas/divisi.
Januari 1943, kompetisi intern di lingkungan PERSIB pun dimulai, untuk pertandingan kelas I (mungkin setara Divisi Utama) bertempat di lapangan Tegal Lega, setiap hari Sabtu dan Minggu yang menurut koran Tjahaya berlangsung jam 6 sore, jadi kami dapat menyimpulkan bahwa lapangan Tegal Lega saat itu sudah memiliki fasilitas lampu. Karena pertandingan itu tidak dipungut bayaran, maka masyarakat Bandung menyambutnya dengan antusias untuk menonton "hiburan rakyat" tersebut. Sementara untuk pertandingan kelas "bawahan" (mungkin setara divisi I atau II) digelar diluar hari Sabtu dan Minggu.
Sementara untuk kesebelasan yang berada di pinggiran kota / Priangan Timur seperti Rikuyu Sokyoku Garut (Risorga), Tjikara, Sekolah Pertukangan dan lainnya, digunakan lapangan Nagrog-Cimurah atau lapangan HBOM.
Bagaimana dengan kesebelasan PERSIB sendiri? saat pendudukan Jepang, kesebelasan PERSIB pun masih bermain, tetapi lebih banyak beruji coba dengan anggota klub sendiri. Koran Pembangoenan mewartakan bahwa pada tahun 1943, PERSIB pernah bertanding melawan kesebelasan MOLTO (anggota PERSIB) di lapangan Azuma (dimanakah ini?). Pertandingan itu dimenangkan oleh PERSIB dengan skor 2-1. Nama-nama pemain PERSIB yang disebut dalam koran tersebut adalah Amir, Kirno dan Pakih. Dibawah penguasa Jepang kompetisi tingkat nasional masih berjalan. PSSI yang berubah nama menjadi Tai Iku Kai tetap menjalankan kompetisi, juara di kompetisi kali ini masih Persis Solo. Kiprah PERSIB sendiri datanya tidak diketahui pada kompetisi tahun ini.
Setelah Indonesia merdeka, PSSI tidak otomatis langsung berkiprah kembali. Belanda pada masa itu berusaha mengisi kekosongan dengan mendirikan NIVU. Untunglah prakarsa PERSIB menghidupkan kembali PSSI bersama Perserikatan-perserikatan lainnya seperti PSIS, PSIM, Persebaya dan Persija, sehingga PSSI tetap menjadi Induk Organisasi Sepakbola Nasional bahkan sampai hari ini.
Di masa Revolusi Fisik setelah Indonesia Merdeka, PERSIB kembali menunjukan eksistensinya. Yang unik, karena situasi pada saat itu memaksa PERSIB untuk tidak hanya eksis dikota Bandung saja, maka PERSIB pun tersebar ke berbagai kota, sehingga saat itu terdapat sebutan PERSIB Tasikmalaya, PERSIB Sumedang, bahkan PERSIB Yogyakarta!
Di masa itu, Prajurit-prajurit Siliwangi hijrah ke Ibukota Perjuangan, Yogyakarta. Baru pada tahun 1948, PERSIB kembali berdiri di Bandung, kota kelahiran yang kemudian membesarkannya.
Akhirnya sejak saat itu lapangan SIDOLIG benar-benar menjadi “kandang” bagi PERSIB. Nyaris semua kegiatan pertandingan dilakukan di sana. Mulai dari tempat berlatih klub-klub anggota PERSIB sampai kompetisi intern PERSIB.
Categories:
1940 - 1949